Rabu, 10 Oktober 2012

sejarah peradaban islam


 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah.Beberapa gerakan politik merongrong pemerintahan dan mengganggu stabilitasi muncul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar.Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik.Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh.Kekuasaan betul-betul berada di tangan khalifah.Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya.Setelah  periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.[1]
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok.Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya.Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru olah para hartawan dan anak-anak pejabat.Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.[2]

B.     Rumusan Masalah
a.       Apakah Faktor Internal Kemunduran Bani Abbasiyah?
b.      Apakah Faktor Eksternal Kemunduran Bani Abbasiyah?

C.    Tujuan
a.       Mengetahui Faktor Intenal Kemunduran Bani Abbasiyah.
b.      Mengetahui Faktor Eksternal Kemunduran Bani Abbasiyah.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor Internal Kemunduran  Bani Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.[3]
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
               Telah disebutkan bahwa dengan waktu yang relatif singkat kaum muslimin menjadi penguasa di tiga benua. Semasa Abbasiyahwilayah kekuasaannya meliputi barat sampai samudera Atlantik, di sebelah timur sampai India perbatasan China, dan di utara laut Kasphia, sampai ke selatan teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para khalifah yang lemah. Di samping itu sistem komunikasi masih sangat lemah dan tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan.Oleh karena itu, terjadi banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri.Sementara itu jauhnya wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian hari didorong oleh para khalifah yang makin lemah dan malah yang di pengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak terkendali bagi khalifah, menyebabkan daerah-daerah satu persatu lepas.Ada yang merdeka dan ada yang setengah merdeka, ada yang berkuasa secara mutlak dengan hanya mengakui kedaulatan khalifah, karena kepentingan legitimasi mereka sebagai wakil khalifah seperti dinasti Ghazni di timur.Daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah misalnya di barat seperti, Syi’ah Idrisiah di Maroko, Umayah di Andalusia, dan Fatimiah di Afrika.[4]
            Eksploitasi dan pajak berlebihan menjadi kebijakan favorit yang dibebankan kepada rakyat, tidak terkecuali. Garis perpecahan antara Arab dan non-Arab, muslim Arab dan mawali, anti-muslim dan dzimmi, tetap telihat tajam. Orang Arab sentiment lantaran Arab utara dan Arab selatan masih tetap ada. Orang Persia, berbangsa Hamite, Turki, dan lain-lain tidak pernah berpadu dalam satu kesatuan dengan orang Arab Semit. Akibatnya mundur disentegrasi antara kekuatan-kekuatan sosial dan kelompok-kelmpok.Seiring dengan lintasan waktu/zaman, darah penakluk telah bercampur dengan darah taklukan, bersama dengan hilangnya kualitas dan posisi dominan.Dengan hancurnya bangsa Arab, hancur pula stamina dan semangat juang mereka.[5]
           Mu’tasim membangun kelompok tentara elit dari Turki secara terpisah dengan tentara Abbasiyah.Akhirnya, mereka begitu berpengaruh di kalangan istana maupun rakyat, maka khalifah pun tergantung mau atau tidaknya mereka.Tentara bayaran Turki akhirnya saat khalifah lemah, merekalah yang pegang kendali kekhalifahan, bahkan untuk mengangkat dan memecat khalifah pun merekalah yang paling menentukan.Kesewenang-wenangan mereka, maka membuat gelisah bagi kelompok Arab, Persia, dan suku-suku lain yang memprotes keras. Hal ini menyebabkan khalifah Mu’tasim memindahkan ibu kota ke Samarra. Kemudian hari pindah kembali lagi di ibu kota ke Baghdad. Di samping itu, seperti orang Arab yang merendahkan non-Arab, dan sebaliknya orang Persia juga tidak memandang orang Arab sebagai bangsa yang maju.Perang Amin-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu yaitu kubu Arab dan kubu Persia.Hal ini juga memengaruhi kebutuhan Abbasiyah. Karena tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku menyebabkan sering gonta-gantinya putra anggota di kalangan istana dan pecah-belahnya suara istana yang tidak menjadi kesatuan bulat terhadap pengangkatan para pengganti khalifah. Seperti perang saudara antara Amin Ma’mun adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara, istana, dan elit politik lain yang juga memacu kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Di samping itu, tentara lembaga pertahanan keamanan tidak begitu dapat perhatian dari khalifah juga membuat kekuatan pusat dinasti ini makin hari makin lemah.[6]
           Selain itu saat para khalifah yang lemah berkuasa, provinsi-provinsi di daerah yang jauh dari pusat tidak begitu terurus dan terkendarli dengan baik, di samping itu sejak sebelumnya provinsi-provinsi menikmati otonomi dan diberi kebebasan dalam hal pertahanan dan perpajakan.Para wali, amir, dan tentara akhirnya menjadi kuat dan melepaskan diri dari pusat atau mereka juga hanya mengakui pusat dengan berkuasa penuh.Sebagai contoh, khalifah Harun memberikan otonomi dan tanggung jawab penuh kepada Ibrahim ibn Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah seumur hidup yang menghasilkan berdiri dinasti Aghlabiah yang merdeka.[7]

2.      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
            Munculnya dinast-dinasti yang benar-benar menikmati independensi dari kekhalifahan pusat Abbasiyah, seperti dinasti Ibn-Thulun dan Ikhsid di Mesir. Bani Thahir di Khurasam, Bani Saman di Persia dan ma wara al-nahar (seberang Sungai Oxus), orang Ghaznawi di Afghanistan, Punjab, dan India, bahkan Bani Buwaihia penganut Syi’ah Itsna’Asyariah berhasil menduduki kekhalifahan di Shirai Persia. Setelah Buwaihiah tumbang digantikan oleh Saljuq yang Sunni.Hal ini terjadi karena lemahnya kekhalifahan pusat.[8]
            Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan.Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[9]
              Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti.Alasannya, karena khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[10]
              Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang peminpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.[11]
           Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1)      Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2)      Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3)      Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4)      Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).[12]
5)      Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.

3.      Kemerosotan Perekonomian
`            Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik.Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya.Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi. [13]
               Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar.Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.[14]

4.      Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
   Pertentangan Arab-non-Arab, perselisihan antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat  Islam sendiri telah membawa kepada situasi kehancuran dalam pemerintahan. Di samping itu, tampilnya gerakan-gerakan pembangkang yang berkedok keagamaan, seperti orang Qaramithah, Asasin, dan pihak-pihak lain turut memporak-porandakan kesatuan akidah maupun nilai-nilai Islam yang bersih di sepanjang masa. Saat itu, kaum muslim terbelah menjadi banyak kelompok seperti Khawarij, Syi’ah-Itsna’Asy’ariah, Isma’iliah, Assasin, Karamitah-Sunni, Mu’tazilah, dan sebagainya. Mereka satu sama lain tidak diakui terutama di kalangan elit politik menyebabkan sendi kekuatan Abbasiyah menjagi makin hari makin lemah sampai kehancuran Baghdad. khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan negara  Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H. setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau memegang jabatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.[15]
      Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri.Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa.Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan.Namun anaknya, al-Muntashir(861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.[16]
      Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.Pada masa al-Mutawakkil(847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun.Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih.Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis.Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[17]

B.     Faktor Eksternal Kemunduran Bani abbasiyah
Di samping faktor-faktor internal tersebut, ada juga faktor eksternal yang membawa nasib dinasti ini terjun ke jurang kehancuran total. Yaitu sebagai berikut:
1.      Perang salib
            Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh AlpArselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 (1071 M.). tentara Alp Arselan yang hanya   berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 20.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib.Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait Al-Maqdis pada tahun 471 Hijriah dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasaan Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka.Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M. Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.[18]
1)      Periode pertama
Pada musim semi tahun 1095 M., 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan  Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar.Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa).Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya.Mereka juga berhasil menduduki Bait Al-Maqdis (15 Juli 1099 M.), dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey.Setelah penaklukan Bait Al-maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.). Tripoli (1109 M.), dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, rajanya adalah Raymond.[19]
2)      Periode kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul, dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun, ia wafat tahun 1146 M. tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang Salib kedua.Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Prancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II.Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria.Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki.Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus.Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian, kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.[20]
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslimin sangat memukul perasaan tentara salib.Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard The Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Prancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah Al-Din, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kotakerajaan Latin. Akan tetapi, mereka tidak berhasil memasuki Palestina.Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalah Al-Din yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.[21]
3)      Periode ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha  merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1291 M, mereka berhasil menduduki Dimyat.Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, Al-Malik Al-Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara Al-Malik Al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum Muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan Al-Malik Al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun.Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.
      Demikianlah perang Salib yang berkobar di timur. Perang ini tidak berhanti di barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah.Dalam kondisi demikian, mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah.Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[22]
Adapun sebab-sebab perang Salib adalah sebagai berikut :
a.             nama perang Salib diambil dari kata Salib yang menunjukkan bahwa agama merupakan penyebab utamanya.
b.            Ambisi Paus untuk menghancurkan Islam.
c.             Sebab-sebab perdagangan yang muncul karena keinginan mereka untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan yang berada di Laut Tengah untuk menjadi jembatan dengan perdagangan yang berada di Timur jauh.
d.            Menyebarkan kelaparan, perang, dan penyakit serta perampokan di Eropa sehingga mereka harus mencari sebuah negeri kaya.
e.             Terpecah dan tercabik-cabiknya front kaum muslimin.
f.             Sebagai balas dendan atas kekalahan Maladzkird Byzantium yang sangat memalukan pada perang Maladzkird tahun 163 H/1071 M.[23]

2.      Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
                 Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah.Sebuah kawasan terjauh di China.Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).mereka adalah orang-orang Badui-sahara yang dikenal keras kepala dan suka berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil. Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban.Maka pada Januari 1258, pasuakn Hulagu bergerak untuk mengahncurkan tembok ibukota.Sementara itu khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengizinkan pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah yaitu Ibn ’Alqami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.[24]




                                      


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Faktor-faktor Internal Kemunduran Bani Abbasiyah disebabkan oleh:
1)      Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan.
2)      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri.
3)      Kemerosotan Perekonomian.
4)      Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaana.
2.      Faktor-faktor Eksternal Kemunduran Bani Abbasiyah disebabkan oleh:
1)      Perang Salib.
2)      Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah.
B.     Saran
      Adapun saran dari kami adalah sebagai sesama umat manusia yang hidup di muka bumi ini, walaupun begitu banyak perbedaan diantara kita, tapi kita tidak boleh memusuhi satu sama lain, kita tetap harus hidup rukun demi tercapainya perdamaian.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah.
            http://geoogle.com. Diakses (13 Maret 2012).
Anonim.2010. Sebeb Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah.
            http://geoogle.com. Diakses (13 Maret 2012).
Abdul Karim, Muhammad, Sejarah Pemikiran dan Peradaba Islam,
                        Jakarta: Pustaka, 1999.
            Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, Edisi Lux; Jakarta : Akar Media, 2010.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Edisi 1; Jakarta : Rajawali
            Pres, 2010.






[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 61-62.
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 61-62.

[3]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.
[4]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pengantar Ahmad Syafii Maarif dan M. Amin Abdullah: Pustaka), h. 162.
[5]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pengantar Ahmad Syafii Maarif dan M. Amin Abdullah: Pustaka), h. 162-163.

[6]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pengantar Ahmad Syafii Maarif dan M. Amin Abdullah: Pustaka), h. 163.

[7]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pengantar Ahmad Syafii Maarif dan M. Amin Abdullah: Pustaka), h. 163.

[8]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pengantar Ahmad Syafii Maarif dan M. Amin Abdullah: Pustaka), h. 164.

[9]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.

[10]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.

[11]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.

[12]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.

[13]Anonim. 2010. Sebab-sebab Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.

[14]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.

[15]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pengantar Ahmad Syafii Maarif dan M. Amin Abdullah: Pustaka), h. 164.


[16]Anonim.2010. Masa Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.


[17]Anonim. 2010. Sebab-sebab Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.


[18]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 76-77.

[19]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 77.

[20]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 77-78.

[21]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 78.

[22]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 79.

[23]Ahmad Al-Usaray, Sejarah Islam. (Edisi Lux; Jakarta, Akar Media, 2010), h. 256.
[24]Anonim. 2010. Sebab-sebab Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah.http://www.wikipedia.ordg.id.